Para Lelaki Reffresing Kampung Janda Wanita Segar



Suasana di ‘Kampung Janda’ sepintas sama seperti kampung biasanya, banyak warga beraktivitas di sekitar rumah. Bedanya, warga didominasi para perempuan dan anak-anak.
Kampung Panyarang di Desa Ciburayut, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, ini memang akrab disapa Kampung Janda oleh warga sekitar, karena banyak perempuan yang menjadi janda. Usianya beragam, mulai dari 14 tahun hingga lanjut usia sekitar 60-70 tahun.

“Di RT saya saja, dari 65 kepala keluarga (KK), ada sekitar 30 perempuan yang menjanda,” kata Ketua RT 05, Ade Suryadi






Para perempuan itu, kata dia, menjanda akibat banyak hal, ada yang suaminya meninggal tertimbun galian pasir, atau meninggal karena penyakit.
“Di kampung sini kan sekitar 80 persen warganya bekerja sebagai penambang galian di atas,” ujarnya. Ia menuturkan, beberapa tahun yang lalu pernah terjadi longsor di galian pasir sehingga menewaskan ratusan orang.

“Nah makanya istri-istrinya pada menjanda”
Suami Yati, juga tewas 2 bulan lalu karena tertimpa material longsor. Saat itu, suaminya tengah memahat bebatuan yang mengandung bahan baku batako di ketinggian sekitar 40 meter. Tiba-tiba dari atas bukit mengalami longsor hingga menyeret suaminya ke dasar tebing.

“Saya tidak tahu apa yang harus dilakukan. Saya harus mempertahankan hidup anak-anak,” kata Yati yang mengandalkan uang hasil pemberian dari pemilik galian.
Kisah 2 perempuan ini adalah sebagian kecil dari derita wanita lainnya yang hidup serba pas-pasan di Kampung Panyarang, Desa Ciburayut. Mereka rela menyelesaikan seluruh kebutuhan rumah tangga sendiri.








Memang masih ada peran mertua yang dengan setia membantu mereka. Namun, para orang tua dan mertua tentu saja tidak dapat diandalkan untuk menyelesaikan seluruh kebutuhan harian.

“Harus diselesaikan sendiri, kang. Biarin jualan makanan keliling kampung,” kata Odah.
Karena mayoritas para suami meninggal dunia akibat tertimbun galian, kaum istri terpaksa menjadi tulang punggung keluarga

Perempuan dengan 3 anak ini sadar dengan konsekuensi menikahi dambaan hatinya 5 tahun lalu. Sang suami jauh-jauh hari telah mengingatkan resiko kalau menikah dengannya. Bahkan buah cintanya juga didapat kala sang suami bekerja di penambangan tradisional yang masuk dalam golongan galian C itu.

Dari puluhan pasangan di kampung ini, rata-rata memang pekerja keras dan berat. Anak muda di sana terpaksa bekerja di galian C milik warga setempat lantaran karena faktor pendidikan juga minimnya lapangan pekerjaan.

“Memang resikonya nyawa, tapi mau gimana lagi, dari pada nganggur,” ujar Muhidin warga setempat.

Muhidin dan warga lainnya lebih memilih bekerja di galian ketimbang harus menjadi petani. Jika bercocok tanam, kata dia, modal cukup besar. Sementara keuntungannya sangat kecil karena yang menentukan harga di tingkat petani adalah tengkulak.

“Ya mending di galian, sehari bisa dapet Rp 100 ribu hingga Rp 150 ribu,” ujar Muhidin.


Share this

Related Posts

Previous
Next Post »

Entri yang Diunggulkan

PANDUAN CARA INSTALKAN APLIKASI RAJABAKARAT DI ANDROID