RUU KUHP saat ini sedang digodok oleh DPR, termasuk di dalamnya soal pasal penghinaan Presiden dan Wakil Presiden. Pasal penghinaan Presiden dan Wakil Presiden dalam RUU KUHP itu masuk dalam delik aduan.
"Substansinya memang semua fraksi sudah setuju. Tetapi tata bahasanya masih perlu diperbaiki," kata Anggota Panja RUU KUHP Adies Kadir, dari Fraksi Golkar di kantor DPP Golkar, Jalan Anggrek Neli, Jakarta Barat, Rabu (7/2/2018).
Ada dua hal yang saat ini menjadi perdebatan dalam RUU KUHP yaitu soal tata bahasa pasal penghinaan presiden dan lama hukuman. Oleh karenanya Golkar meminta kedua hal itu dikaji kembali.
"Memang untuk pasal penghinaan Presiden ini masuk di delik aduan. Bukan delik umum atau biasa. Dan diperbolehkan melapor yakni langsung dengan yang bersangkutan (Presiden dan Wakil Presiden)," terangnya.
"Jadi Presiden dan Wapres apabila merasa dicemarkan nama baik, beliau harus melapor sendiri. Bukan orang lain. Sekarang kan tinggal Presiden kita beliau mau lapor enggak. Jadi ini tidak seperti yang lalu," tambahnya.
Soal ancaman hukuman, Golkar meminta ancaman hukuman lima tahun juga dikaji kembali.
Adies juga meyakini Presiden tidak akan menggunakan haknya semena-mena untuk melaporkan seseorang ke ranah hukum.
"Undang-undang besok, Presidennya harus melapor sendiri. Jadi jika nama baik dihina, atau dia punya harga diri dilecehkan. Keinginan kita substansinya adalah, kita ingin presiden kita dihormati agar tidak dilecehkan atau dirusak nama baiknya. Itu saja," jelasnya.
Dalam pasal penghinaan Presiden ini, seorang Presiden harus melaporkan sendiri kasus penghinaannya kepada penegak hukum dan tidak bisa diwakilkan.
"Selama dia tidak melapor maka aparat penegak hukum tidak bisa menangkap. Perbedaan dengan kemarin ini kita kunci dengan delik aduan," tegasnya.