Pelaku penyerangan teror simultan di beberapa gereja dan kantor polisi di Surabaya, termasuk bom yang meledak sendiri di sebuah rusunawa, dilakukan oleh tiga keluarga. Mirisnya, suami dan istri pelaku juga melibatkan anak-anaknya yang masih di bawah umur.
Sebelumnya, serangan oleh teroris keluarga (the family terrorist) pernah terjadi dalam Bom Bali 2002 oleh Mukhlas, Amrozi, dan Ali Imron. Namun, di Indonesia baru kali ini serangan melibatkan istri dan anak-anak di bawah umur sekaligus. Adapun ISIS (Negara Islam di Irak dan Suriah) di Timur Tengah dan Afrika sudah melibatkan anak-anak sebagai eksekutor lawan-lawannya dan pengebom bunuh diri.
Banyak orang mengutuk tindakan 'keji di atas kekejian' tersebut. Terorisme adalah kekejian karena membunuh orang tidak berdosa. Namun, melibatkan anak-anak adalah kekejian kuadrat. Anak-anak yang seharusnya bersekolah, belajar agama untuk bekal kesuksesan di dunia dan akhirat, mempunyai masa depan, semuanya direnggut paksa oleh orangtua yang membesarkan mereka sendiri. Kelelahan dan berbagai kesulitan sejak melahirkan dan membesarkan mereka lenyap sia-sia karena kesalahan memahami ajaran agama.
Tapi, terlepas dari analisis aspek agama, psikologi, dan sosiologi, pelibatan istri dan anak-anak dalam serangan teror simultan justru menunjukkan melemahnya Jamaah Ansharud Daulah/Tauhid. Melemahnya JAD/JAT, jaringan penyerang simultan di Surabaya, serta pelaku penyerangan dan penyanderaan aparat di Mako Brimob pada 8-10 Mei, berimbas pada meluruhnya ISIS di Asia Tenggara. Hal itu karena JAD/JAT telah bersumpah setia kepada ISIS dan menjadi organisasi afiliasi ISIS terkuat di Indonesia saat ini setelah kelompok Santoso (Mujahidin Indonesia Timur), yang juga bersumpah kepada ISIS, meluruh pasca kematian Santoso.
Sebelumnya, ISIS telah kehilangan banyak teritori di Irak dan Suriah. Kelompok ini sekarang terdesak di perbatasan kedua negara tersebut, dan terpencar ke berbagai negeri. ISIS kemudian menempuh strategi berkoalisi dengan kelompok lokal dan membuka basis teritori seperti di Marawi, Filipina Selatan, bersama kelompok Maute dan Abu Sayyaf. Namun, setelah pertempuran sekitar lima bulan, basis ISIS di sana hancur.
Kembali kepada eksistensi JAD/JAT dan ISIS terkait pemanfaatan teroris keluarga, studi strategis dapat memperlihatkan beberapa indikasi meluruhnya ISIS di Indonesia, antara lain; pertama, kemampuan mereka merekrut orang dan memperluas jaringan melambat. Jaringannya mulai terbatas pada keluarga dekat dan pertemanan/ perkawinan antarkeluarga kelompok tersebut. Mereka pun sukar mengidoktrinasi orang lain untuk mengorbankan dirinya. Karena sulitnya perekrutan dan indoktrinasi untuk sejumlah pengebom bunuh diri, mereka mengorbankan istri dan anaknya sendiri.
Kedua, munculnya keraguan akan masa depan dan keberlanjutan kelompoknya. Jika mereka yakin prospek JAD/JAT, mereka akan cenderung mengindoktrinasi anak-anaknya, membiarkannya tumbuh besar dan menjadi calon pengebom belasan tahun atau puluhan tahun kemudian. Ketidakpastian organisasi yang terbayang di benaknya membuat mereka menempuh risiko mengorbankan semua anggota keluarganya sekaligus.
Adapun perilaku organisasi teror di masa lalu, seperti NII yang mempunyai kemiripan ideologis, tidak pernah melibatkan anak-anak. Mereka masih percaya ada masanya anak-anak mereka akan terlibat seperti mereka. Itu indikasi mereka merasa mempunyai prospek perjuangan.
Ketiga, pertemanan dan persaudaraan sesama anggota JAD/JAT melemah dan tidak dapat diandalkan. Itu juga berarti sikap saling percaya di antara mereka merosot. Efeknya, soliditas organisasi menjadi rentan hancur. Logikanya, jika persaudaraan organisasi kuat mereka akan menitipkan anak-anaknya kepada rekannya untuk dibesarkan. Namun, karena kekhawatiran tidak ada yang akan merawat anaknya membuat mereka memilih bunuh diri bersama anaknya.
Keempat, keluarga teroris bahkan hanya mampu memengaruhi keluarga inti. Mereka terlihat sudah lama berbeda pendapat secara tajam dengan keluarga besarnya. Karena itu, mereka tidak percaya keluarga besarnya, seperti kakek/nenek atau paman/bibi, untuk merawat anak-anaknya. Ini juga berarti kemampuan mereka bersosialisasi dan meyakinkan simpatisan baru sangat lemah, bahkan di antara keluarga besarnya sendiri.
Kelima, mereka mungkin berlogika makin banyak anggota keluarga, makin banyak serangan yang akan dilakukan, begitu pula korbannya. Namun, karena melibatkan anak-anak yang tentu tidak terlatih, efek serangan menjadi terbatas dan tidak efisien. Bahkan, pada kasus serangan Mapolresta Surabaya, empat korban yang tewas seketika adalah penyerangnya sendiri. Secara taktis, ini kekalahan fatal karena penyerangnya tewas, sedangkan target serangan tidak terpenuhi, bahkan masyarakat semakin mendukung aparat keamanan.
Keenam, pola teroris keluarga saat ini juga menunjukkan ketidakrapian perencanaan serangan. Mereka sempat meledakkan diri, tapi tidak mampu memasuki gedung untuk menimbulkan korban maksimal. Mereka juga tidak mempunyai Rencana B jika rencana awal gagal. Itu terlihat dalam serangan Mapolresta Surabaya yang "terpaksa" meledakkan diri karena terhadang petugas portal yang dari kamera pengawas terlihat sudah curiga kepada dua motor tersebut. Dampak serangan akan berbeda jika perencanaan dilakukan oleh beberapa orang dewasa, bukan hanya seorang kepala keluarga.
Enam indikasi di atas dapat menjadi bahan masukan pengambilan keputusan dalam penanggulangan terorisme. Pemerintah, aparat keamanan dan masyarakat tidak perlu terlalu khawatir dengan fenomena pelibatan anak-anak ini. Reaksi berlebihan tidak perlu dilakukan.
Sistem penegakan hukum misalnya, dapat dilanjutkan tanpa harus mengubahnya menjadi model perang atau kontraterorisme penuh, seperti kebijakan Amerika Serikat dan Rusia. Lagi pula, terorisme tetap terjadi di kedua negara tersebut, meski memakai model pemberantasan terorisme yang lebih keras dan kurang sensitif terhadap penegakan hukum dan hak asasi manusia. Bahkan, bila kasus-kasus penembakan massal di sekolah-sekolah di AS digolongkan sebagai terorisme, model perang dan pengintaian warga secara komprehensif terlihat tidak efektif.
Selain itu, perlu perbaikan koordinasi untuk deteksi dini dan pencegahan dini. Kerja sama Polri, BIN, TNI, Badan Siber dan Sandi Negara, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), dan lain-lain perlu diperbaiki. Bila masyarakat diminta bersatu menumpas terorisme, maka kesatuan itu harus terwujud lebih dulu di antara kementerian dan lembaga pemerintah.
Agenda mendesak lainnya adalah penguatan peran sektor pendidikan dan agama dalam mencegah terorisme oleh anak-anak. Guru harus lebih aktif sebagai pendidik, tidak sekadar pengajar ilmu. Guru menjadi orangtua kedua, sehingga perlu aktif berinteraksi dengan peserta didik. Musyawarah dengan para orangtua juga dilakukan untuk peningkatan mutu pendidikan.
Peran sektor agama, terutama Islam, juga perlu ditingkatkan. Ajaran Islam tentang keharaman bunuh diri, terorisme, membunuh perempuan, anak-anak, dan orang lanjut usia, serta menimbulkan kekacauan publik, dan sebagainya perlu didakwahkan secara meluas. Termasuk, informasi hadis sahih tentang kepastian masuk surga sepanjang konsisten dalam keimanan hingga akhir hayat.